“Kenapa
sih rokok harus diperhitungkan dalam menghitung kemiskinan? Memangnya rokok itu
sekarang sudah masuk dalam kategori Sembilan bahan pokok ya?” celoteh Mawar
(bukan nama sebenarnya) seorang wartawati setelah mendengarkan rilis dari BPS
tentang angka kemiskinan.
Mawar
mungkin hanyalah satu dari sekian banyak orang yang juga mempertanyakan, mengapa
rokok, yang notabene keberadaannya ‘dimusuhi’ oleh berbagai pihak, justru
dimasukkan dalam salah satu komponen untuk menghitung garis kemiskinan. Beberapa
media bahkan berkunjung langsung menemui Suryamin, Kepala BPS untuk
mengklarifikasi hal tersebut. Sebagai pegawai BPS, kita tentu dituntut paham
mengenai hal ikhwal rokok dan kemiskinan ini. Berikut penjelasan ringkasnya.
BPS
pertama kali melakukan penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada
tahun 1984. Ketika itu, penghitungannya mencakup periode 1976-1981 dengan
menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) modul konsumsi. Sejak
itu, setiap tiga tahun BPS rutin mengeluarkan data kemiskinan yang disajikan
menurut daerah perkotaan dan perdesaan. Mulai 2003, BPS rutin mengeluarkan data
tersebut setiap tahun. Hal ini karena sejak 2003 BPS mengumpulkan data Susenas
Panel Modul Konsumsi setiap bulan Februari atau Maret.
Mengurut
perihal angka kemiskinan, kita memang perlu tahu bagaimana cara menghitungnya.
Penghitungan kemiskinan BPS mengacu pada pendekatan kebutuhan dasar. Komponen
kebutuhan dasar ini terdiri dari kebutuhan makanan dan bukan makanan yang
disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan yang diambil dari hasil Susenas.
Mulai tahun 1998 pendekatan kebutuhan dasar yang digunakan BPS telah
disempurnakan, menjadi 52 jenis komoditi makanan dan 51 komoditi bukan makanan
(perkotaan) dan 47 komoditi (perdesaan). Dengan pendekatan ini, kemiskinan
merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran, yang kemudian
batasan dari sisi pengeluaran inilah disebut sebagai Garis Kemiskinan.
Garis
Kemiskinan (GK) terdiri dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan
non makanan (GKMN). Dalam menentukan GKM, perlu ditentukan penduduk referensi.
Penduduk referensi adalah 20% penduduk yang berada di atas garis kemiskinan
sementara (GKS). GKS diperoleh dari GK periode sebelumnya dan di-inflate dengan
inflasi tahun berjalan.
GKM adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan (termasuk
didalamnya beras, daging, telur, rokok, dll) yang riil dikonsumsi penduduk
referensi, kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita/hari. Misalkan
untuk memenuhi kebutuhan 52 komoditi tersebut perlu dikeluarkan Rp300.000, dan
total kalori yang didapat dari 52 komoditi tersebut adalah 1500 kilokalori.
Artinya, setiap memenuhi 1 kilokalori diperlukan uang sebesar Rp200 dan untuk
memenuhi 2100 kilokalori berarti dibutuhkan uang senilai Rp420.000. Maka
didapatlah GKM saat ini adalah Rp420.000.
Setelah
menghitung GKM, kita juga perlu menghitung GKNM. GKNM merupakan penjumlahan
nilai kebutuhan minimum dari komoditi non makanan terpilih yaitu perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan. Nilai kebutuhan minimum ini dihitung dengan
menggunakan suatu rasio pengeluaran yang didapat dari hasil Survei Paket
Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD2004).
Penjumlahan GKM dan GKNM inilah yang kemudian menjadi GK. Penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran perkapita/bulan dibawah GK dikategorikan sebagai penduduk
miskin. Setelah diperoleh penduduk miskin, ini kemudian dilihat lagi pola
konsumsinya dari modul konsumsi Susenas.
Pada tahap
inilah dapat terlihat share masing-masing komoditi baik makanan maupun non
makanan terhadap garis kemiskinan. Seperti kita ketahui, bahwa rokok memiliki
share terbesar kedua setelah beras baik di pedesaan maupun perkotaan. Suryamin,
dalam beberapa kesempatan wawancara langsung oleh media memaparkan “Ketika
seseorang yang dikatakan miskin ini mengkonsumsi rokok, ada kemungkinan Ia
menjadi tidak miskin apabila mengalihkan pengeluarannya untuk rokok menjadi
pengeluaran untuk komoditi makanan yang memiliki kilokalori”.
Nah,
merunut pada rilis kemiskinan yang dilansir oleh BPS terakhir, dengan sumbangan
rokok pada GKM sebesar 8,08% (perkotaan) dan 7,68% (pedesaan), memang jelas
dapat dikatakan bahwa orang yang dikategorikan miskin ternyata banyak yang
mengkonsumsi rokok. Bukan berarti orang yang tidak miskin tidak merokok, tetapi
bagi mereka share pengeluaran rokok ini sangatlah kecil dibandingkan pengeluaran
untuk barang-barang mewah lainnya.
Pada tahun
2015 saja, dari hasil Susenas, dapat dilihat bahwa penduduk berusia 15 tahun
keatas yang mengkonsumsi rokok sebesar 22,57 persen di perkotaan dan 25,05
persen di pedesaan. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihabiskan selama
seminggu mencapai 76 batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan. Luar biasa
banyak. Jadi, bagaimana menurut Anda, apakah rokok yang menyebabkan kemiskinan?
-Ferika